Wednesday, October 30, 2019

Kajian Kitab Nashaihul Ibad


Kajian Kitab Nashaihul Ibad Karya Syekh Nawawi Banten
Lima Hal Esensial dalam Meraih Kebahagiaan
(Oleh : Badrun Taman)

Tiada satu pun manusia ketika ditanya tentang dua hal, apakah anda ingin hidup bahagia atau tidak?, kecuali ia menjawab ingin bahagia. Semua aktifitas yang dilakukan manusia berorientasi kepada peningkatan kualitas kehidupan agar meningkat kebahagiaannya. Bekerja mencari nafkah, belajar hingga jenjang pendidikan yang paling tinggi, berkarir dalam bidang politik hingga menduduki jabatan yang teratas, hingga mengabdikan diri kepada kepentingan sosial, dilakukan dalam dalam rangka meraih kebahagiaan dalam kehidupan.
Islam datang juga memiliki misi mengantarkan manusia ke dalam kebahagiaan. Bahkan semua tuntunannya tidak hanya berorientasi kepada kebahagiaan lahiriah-duniawiah, tetapi juga kebahagiaan batiniah-ukhrawiah. Dalam rangka meraih kebahagiaan, dalam Islam, seseorang tidak hanya diperintahkan menjalankan tuntunan pada aspek lahiriah-formal, melainkan juga diharapkan memahami dan menjiwai makna dan tujuan terkandung dalam setiap tuntunan, kemudian membawa dan menerapkan makna dan tujuan tersebut dalam semua aktifitas kehidupannya.
Salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang bernama Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash Radliyallahu ‘anhuma pernah suatu ketika mengutarakan 5 hal penting sebagai makna dan tujuan dari tuntunan agama. Ketika 5 hal esesnsial ini diterapkan dalam seluruh aktifitas, baik aktifitas ibadah maupun muamalah, maka seseorang akan mendapatkan kebahagiaan bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Sebagaimana dikutip oleh Syekh Ibn Hajar al-‘Asqalani yang dijelaskan kembali oleh Syekh Nawawi Banten, bahwa Abdullah ibn Amr ibn Ash radliyallahu ‘anhuma berkata:

خَمْسٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ سَعِدَ فِي الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ: أَوَّلُهَا أَنْ يَذْكُرَ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَقْتًا بَعْدَ وَقْتٍ، وَإذَا ابْتُلِيَ بِبَلِيَّةٍ قَالَ إِنَّا للهِ وَإِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ، وَإِذَا أُعْطِيَ بِنِعْمَةٍ قَالَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ شُكْرًا لِلنِّعْمَةِ، وَإِذَا ابْتَدَأَ فِي شَيْءٍ قَالَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، وَإِذَا أَفْرَطَ مِنْهُ ذَنْبًا قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

“Lima hal, siapapun yang hal tersebut ada pada dirinya, maka bahagia di dunia dan akhirat: pertama, ia ingat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, di setiap waktu. (kedua) ketika diuji dengan cobaan, ia berkata, “sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali, serta tiada daya dan kekuatan kecuali sebab Allah Dzat yang Maha Luhur dan Agung”. (ketiga) ketika diberi ni’mat, ia mengucapkan, “segala puji bagi Allah Dzat yang mengatur seluruh alam”, sebagai ungkapan syukur terhadap nikmat. (keempat) ketika mengawali sesuatu, ia mengucapkan, “dengan asma Allah Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang”. (Kelima) Ketika keluar darinya perbuatan dosa, ia mengucapkan, “Aku meminta ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, dan aku bertaubat kepada-Nya”.   

Hal pertama yang hendaknya diterapkan seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan adalah senantiasa ingat di setiap saat bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Ini adalah makna dan tujuan utama semua tuntunan ajaran Islam, yaitu dalam rangka meng-esakan Allah Subahanahu Wata’ala dan membenarkan kerisalahan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ketika makna ini dibawa dalam kehidupan di setiap waktu, maka aktifitas yang dilakukan seseorang hanya karena dan berorientasi kepada Allah dan Rasulullah. Tidak hanya itu, ia juga melakukan aktifitas tersebut dalam rangka zikir kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah. Aktifitas yang dilakukan murni untuk dan karena Allah dan Rasulullah, yang di dalamnya terdapat ruh zikir memberikan energi positif yang mengantarkan seseorang kepada ketenangan hati dan kebahagiaan.
Kedua, setiap mendapatkan ujian atau musibah, seseorang hendaknya tersadar akan hakikat dirinya, bahwa dirinya dan segala hal yang melekat padanya adalah milik Allah. Ini adalah esensi kedua dibalik diperintahkannya manusia beribadah kepada Allah. Semua adalah titipan dari Allah bahkan dirinya sendiri pun. Karena titipan, maka bukan miliknya, tapi milik Allah, sehingga Allah berhak penuh atas milik-Nya tersebut, yang pada saatnya semua itu akan diambil kembali oleh Allah. Jika penjiwaan ini diterapkan, maka seseorang yang tertimpa ujian akan menghadapinya dengan sabar bahkan ridlo akan ketentuan Allah yang telah diberikan kepadanya. Kebanyakan orang mengalami keterpurukan ketika mendapat ujian, karena ia merasa bahwa harta, raga, dan semua yang melekat pada dirinya adalah miliknya, bukan milik Allah. Sehingga ia merasakan kehilangan atas sesuatu yang telah diambil oleh Allah, Sang Pemilik Hakiki.  
Kemudian, dalam mencari solusi atas ujian, seseorang hendaknya menjiwai bahwa sekuat apapun usaha yang dilakukan, akan berhasil memberikan solusi jika dikehendaki oleh Allah. Karena tiada daya dan kekuatan kecuali sebab Allah. Artinya seseorang harus berusaha menghilangkan pengakuan bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Banyak orang yang berputus asa ketika tidak kunjung selesai masalahnya, karena ia tidak mengembalikan kepada Allah segala kehendak dan kuasa yang dimilikinya. Padahal jika ia bertawakkal, menjiwai bahwa semua gerak dan diamnya sebab Allah, maka Allah akan mencukupinya, dan ia akan bahagia.
Esensi ketiga, semua tuntunan yang diberikan adalah dalam rangka mengajarkan dan mengingatkan manusia untuk senantiasa bersyukur kepada Allah. Oleh karenanya, pada saat mendapat nikmat, seseorang hendaknya mengembalikan segala pujian kepada Allah. Hal ini karena kenikmatan tersebut adalah pemberian dan titipan Allah. Penerapan hal ini akan mengantarnya kepada penjagaan dan penggunaan kenikmatan tersebut sesuai dengan keinginan Dzat Yang Maha Memberi Nikmat. Inilah makna syukur. Meskipun lisan mengucapkan hamdalah, namun tidak disertai dengan penggunaan nikmat kepada hal-hal yang diridlai Allah, belum dikatakan syukur yang sebenarnya. Kabar baiknya, Allah sangat senang kepada hamba-Nya yang bersyukur hingga Dia menjanjikan tambahan-tambahan kenikmatan sebagai apresiasi syukurnya tersebut. Seseorang yang senantiasa bertambah kenikmatan karena bersyukur, akan dapat meraih kebahagiaan di dunia hingga di akhirat kelak.
Keempat, segala yang diperintahkan oleh Allah kepada manusia memiliki makna bahwa hanya kepada Allah seseorang menyembah (beribadah) dan hanya kepada-Nya seseorang memohon pertolongan, sehingga seseorang hendaknya senantiasa berusaha mengawali aktifitasnya dengan bismillah, menyebut nama Allah. Aktifitas yang tidak diawali dengan ingat kepada Allah berpotensi kepada amal yang berorientasi kepada selain Allah dan ketidak berkahan aktifitas yang dilakukan. Makna yang lebih dalam dari bismillah sendiri adalah pengakuan dalam hati bahwa billah, sebab Allah, seseorang telah melaksanakan aktifitas, dan billah, sebab Allah, seseorang akan melaksanakan aktifitas. Artinya, mengawali aktifitas dengan bismillah yang juga dijiwai maknanya dalam hati, secara tidak langsung sebagai bentuk permintaan pertolongan hamba kepada Allah agar dilancarkan segala aktifitasnya dan diberikan hasil yang berkualitas dan bermanfaat. Ini sebagai modal seseorang dalam mencapai kebahagiaan.
Kelima, setiap tuntunan yang diperintahkan memiliki fungsi ganda, pertama sebagai wasilah atau perantara mendapatkan hasanat atau kebaikan-kebaikan, dan kedua sebagai perantara menghapus kesalahan-kesalahan. Dalam menjalankan tugasnya, seseorang tidak akan pernah luput dari kekurangan dan kesalahan. Hal ini dapat ditutupi dengan berbuat kebaikan yang sebelumnya diawali dengan memohon ampunan dari Allah atas segala kesalahan. Setiap kesalahan atau dosa yang diperbuat seseorang akan berakibat kepada munculnya energi negatif yang mengganggu kebahagiannya. Dengan beristighfar dan bertaubat, energi negatif tersebut akan dihapus dan diganti oleh Allah dengan energi positif sehingga mengembalikan bahkan meningkatkan kebahagiaan seseorang tersebut. Kebahagiaan itu akan ia raih di dunia hingga di akhirat.
Kelima hal di atas adalah hal esensial yang hendaknya kita terapkan dalam kehidupan agar mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Jadikan ke lima hal itu sebagai ruh dari semua aktifitas yang kita lakukan. Wallahu A’lam bi al-shawab.












Kajian Kitab Nashaihul Ibad

Sepuluh Golongan Manusia Yang Dicintai Oleh Iblis dan Pasukannya (Oleh: Giyarsi, S,Sy., M.Pd) Allah SWT telah memperingatkan umat ...