Kajian Kitab Nashaihul Ibad Karya Syekh Nawawi Banten
Lima Hal Esensial dalam Meraih Kebahagiaan
(Oleh : Badrun Taman)
Tiada satu pun manusia ketika ditanya
tentang dua hal, apakah anda ingin hidup bahagia atau tidak?, kecuali ia
menjawab ingin bahagia. Semua aktifitas yang dilakukan manusia berorientasi
kepada peningkatan kualitas kehidupan agar meningkat kebahagiaannya. Bekerja
mencari nafkah, belajar hingga jenjang pendidikan yang paling tinggi, berkarir
dalam bidang politik hingga menduduki jabatan yang teratas, hingga mengabdikan
diri kepada kepentingan sosial, dilakukan dalam dalam rangka meraih kebahagiaan
dalam kehidupan.
Islam datang juga memiliki misi
mengantarkan manusia ke dalam kebahagiaan. Bahkan semua tuntunannya tidak hanya
berorientasi kepada kebahagiaan lahiriah-duniawiah, tetapi juga kebahagiaan
batiniah-ukhrawiah. Dalam rangka meraih kebahagiaan, dalam Islam, seseorang
tidak hanya diperintahkan menjalankan tuntunan pada aspek lahiriah-formal,
melainkan juga diharapkan memahami dan menjiwai makna dan tujuan terkandung
dalam setiap tuntunan, kemudian membawa dan menerapkan makna dan tujuan
tersebut dalam semua aktifitas kehidupannya.
Salah seorang sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang bernama Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash Radliyallahu
‘anhuma pernah suatu ketika mengutarakan 5 hal penting sebagai makna dan
tujuan dari tuntunan agama. Ketika 5 hal esesnsial ini diterapkan dalam seluruh
aktifitas, baik aktifitas ibadah maupun muamalah, maka seseorang akan
mendapatkan kebahagiaan bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Sebagaimana
dikutip oleh Syekh Ibn Hajar al-‘Asqalani yang dijelaskan kembali oleh Syekh
Nawawi Banten, bahwa Abdullah
ibn Amr ibn Ash radliyallahu ‘anhuma berkata:
خَمْسٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ سَعِدَ فِي الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ:
أَوَّلُهَا أَنْ يَذْكُرَ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَقْتًا
بَعْدَ وَقْتٍ، وَإذَا ابْتُلِيَ بِبَلِيَّةٍ قَالَ إِنَّا للهِ وَإِنَّا اِلَيْهِ
رَاجِعُوْنَ وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ، وَإِذَا
أُعْطِيَ بِنِعْمَةٍ قَالَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ شُكْرًا لِلنِّعْمَةِ،
وَإِذَا ابْتَدَأَ فِي شَيْءٍ قَالَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، وَإِذَا
أَفْرَطَ مِنْهُ ذَنْبًا قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ
“Lima hal,
siapapun yang hal tersebut ada pada dirinya, maka bahagia di dunia dan akhirat:
pertama, ia ingat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah
utusan Allah, di setiap waktu. (kedua) ketika diuji dengan cobaan, ia
berkata, “sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan
kembali, serta tiada daya dan kekuatan kecuali sebab Allah Dzat yang Maha Luhur
dan Agung”. (ketiga) ketika diberi ni’mat, ia mengucapkan, “segala puji
bagi Allah Dzat yang mengatur seluruh alam”, sebagai ungkapan syukur terhadap
nikmat. (keempat) ketika mengawali sesuatu, ia mengucapkan, “dengan asma
Allah Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang”. (Kelima) Ketika keluar
darinya perbuatan dosa, ia mengucapkan, “Aku meminta ampunan kepada Allah
Yang Maha Agung, dan aku bertaubat kepada-Nya”.
Hal pertama yang hendaknya
diterapkan seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan adalah senantiasa ingat di
setiap saat bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.
Ini adalah makna dan tujuan utama semua tuntunan ajaran Islam, yaitu dalam rangka meng-esakan Allah
Subahanahu Wata’ala dan membenarkan kerisalahan Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Ketika makna ini dibawa dalam kehidupan di setiap waktu, maka
aktifitas yang dilakukan seseorang hanya karena dan berorientasi kepada Allah
dan Rasulullah. Tidak hanya itu, ia juga melakukan aktifitas tersebut dalam
rangka zikir kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah. Aktifitas yang
dilakukan murni untuk dan karena Allah dan Rasulullah, yang di dalamnya
terdapat ruh zikir memberikan energi positif yang mengantarkan seseorang kepada
ketenangan hati dan kebahagiaan.
Kedua, setiap mendapatkan ujian atau musibah, seseorang
hendaknya tersadar akan hakikat dirinya, bahwa dirinya dan segala hal yang
melekat padanya adalah milik Allah. Ini adalah esensi kedua dibalik
diperintahkannya manusia beribadah kepada Allah. Semua adalah titipan dari
Allah bahkan dirinya sendiri pun. Karena titipan, maka bukan miliknya, tapi
milik Allah, sehingga Allah berhak penuh atas milik-Nya tersebut, yang pada
saatnya semua itu akan diambil kembali oleh Allah. Jika penjiwaan ini
diterapkan, maka seseorang yang tertimpa ujian akan menghadapinya dengan sabar
bahkan ridlo akan ketentuan Allah yang telah diberikan kepadanya. Kebanyakan orang
mengalami keterpurukan ketika mendapat ujian, karena ia merasa bahwa harta,
raga, dan semua yang melekat pada dirinya adalah miliknya, bukan milik Allah.
Sehingga ia merasakan kehilangan atas sesuatu yang telah diambil oleh Allah,
Sang Pemilik Hakiki.
Kemudian, dalam mencari solusi atas ujian,
seseorang hendaknya menjiwai bahwa sekuat apapun usaha yang dilakukan, akan
berhasil memberikan solusi jika dikehendaki oleh Allah. Karena tiada daya
dan kekuatan kecuali sebab Allah. Artinya seseorang harus berusaha
menghilangkan pengakuan bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Banyak orang yang berputus asa ketika tidak kunjung selesai
masalahnya, karena ia tidak mengembalikan kepada Allah segala kehendak dan
kuasa yang dimilikinya. Padahal jika ia bertawakkal, menjiwai bahwa semua gerak
dan diamnya sebab Allah, maka Allah akan mencukupinya, dan ia akan bahagia.
Esensi ketiga, semua tuntunan yang
diberikan adalah dalam rangka mengajarkan dan mengingatkan manusia untuk
senantiasa bersyukur kepada Allah. Oleh karenanya, pada saat mendapat nikmat,
seseorang hendaknya mengembalikan segala pujian kepada Allah. Hal ini karena
kenikmatan tersebut adalah pemberian dan titipan Allah. Penerapan hal ini akan
mengantarnya kepada penjagaan dan penggunaan kenikmatan tersebut sesuai dengan
keinginan Dzat Yang Maha Memberi Nikmat. Inilah makna syukur. Meskipun lisan
mengucapkan hamdalah, namun tidak disertai dengan penggunaan nikmat kepada
hal-hal yang diridlai Allah, belum dikatakan syukur yang sebenarnya. Kabar
baiknya, Allah sangat senang kepada hamba-Nya yang bersyukur hingga Dia
menjanjikan tambahan-tambahan kenikmatan sebagai apresiasi syukurnya tersebut. Seseorang
yang senantiasa bertambah kenikmatan karena bersyukur, akan dapat meraih
kebahagiaan di dunia hingga di akhirat kelak.
Keempat, segala yang diperintahkan oleh Allah kepada
manusia memiliki makna bahwa
hanya kepada Allah seseorang menyembah (beribadah) dan hanya kepada-Nya
seseorang memohon pertolongan, sehingga seseorang hendaknya senantiasa berusaha
mengawali aktifitasnya dengan bismillah, menyebut nama Allah. Aktifitas
yang tidak diawali dengan ingat kepada Allah berpotensi kepada amal yang
berorientasi kepada selain Allah dan ketidak berkahan aktifitas yang dilakukan.
Makna yang lebih dalam dari bismillah sendiri adalah pengakuan dalam hati bahwa
billah, sebab Allah, seseorang telah melaksanakan aktifitas, dan billah,
sebab Allah, seseorang akan melaksanakan aktifitas. Artinya, mengawali
aktifitas dengan bismillah yang juga dijiwai maknanya dalam hati, secara tidak
langsung sebagai bentuk permintaan pertolongan hamba kepada Allah agar
dilancarkan segala aktifitasnya dan diberikan hasil yang berkualitas dan
bermanfaat. Ini sebagai modal seseorang dalam mencapai kebahagiaan.
Kelima, setiap tuntunan yang diperintahkan memiliki
fungsi ganda, pertama sebagai wasilah atau perantara mendapatkan hasanat
atau kebaikan-kebaikan, dan kedua sebagai perantara menghapus kesalahan-kesalahan.
Dalam menjalankan tugasnya, seseorang tidak akan pernah luput dari kekurangan
dan kesalahan. Hal ini dapat ditutupi dengan berbuat kebaikan yang sebelumnya
diawali dengan memohon ampunan dari Allah atas segala kesalahan. Setiap
kesalahan atau dosa yang diperbuat seseorang akan berakibat kepada munculnya
energi negatif yang mengganggu kebahagiannya. Dengan beristighfar dan
bertaubat, energi negatif tersebut akan dihapus dan diganti oleh Allah dengan
energi positif sehingga mengembalikan bahkan meningkatkan kebahagiaan seseorang
tersebut. Kebahagiaan itu akan ia raih di dunia hingga di akhirat.
Kelima hal di atas adalah hal esensial
yang hendaknya kita terapkan dalam kehidupan agar mendapatkan kebahagiaan baik
di dunia maupun di akhirat. Jadikan ke lima hal itu sebagai ruh dari semua
aktifitas yang kita lakukan. Wallahu A’lam bi al-shawab.
No comments:
Post a Comment